Disebutkan menurut hasil kongres yang telah di sepakati bersama dalam international cooperative alliance (ICA) di Manchester, Inggristahun 1995 bahwa koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, social dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Kemudian dari pernyataan tersebut salah satu prinsip yang dapat pula disebut sebagai prinsip utama menyebutkan bahwa keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
Pada kalimat terakhir menyebutkan bahwa keanggotaan bersifat terbuka, artinya siapapun boleh menjadi anggota koperasi tanpa diskriminasi apapun. Baik itu perbedaan suku, agama, rs, golongan, interes politik, gender, maupun stratifikasi social apapun. Sehingga interpretasi yang muncul itu tidaklah eksklusif hanya di peruntukan bagi sekelompok orang tertentu atau golongan tertentu.
Dari system keanggotaannyapun biasanya juga terjadi secara tidak sukarela atau atas dasar kehendaknya secara bebas.biasanya pada koperasi yang demikian system deanggotaannya terjadi secara otomatis. Pada system keanggotaankoperasi demikian di dasarkan padakebijakan dari atas (top down) baik dari yang kebijakan pemerintah dalam hal ini instansi-instansi yang menaungi maupun ats kehendak dari sebuah perusahaan swasta yang biasanya menjadi induk dan sekaligus “Pembina” bagi koperasi tersebut.
Padahal kalau kita sadari bahwa diisilah kelihatannya kunci dari rusak praktek perkoperasian kita. Pertama, dimana pola otomatisasi menjadikan rasa tanggungjawab dari para anggotanya atau komisarisnya menjadi lemah, tidak sadar bahwa dia telah melakukan kegiatan bisnis dan sekaligus bertanggungjawab atas maju dan mundurnya perusahaan dan organisasinya. Kedua, pola top-downisasi juga talah menjadikan koperasi sulit sekali untuk mengali kreatifitas-kreatifitas dari para anggotanya yang mereka telah tidak tersadarkan sebelumnya sebagai anggota. Ketiga, “pola bina” dari para induk semang dari organisasi koperasi pula kiranya telah banyak membatasi ruang gerak dari koperasi tersebut. Belum lagi bila kita kaitan dengan kebijakan makro dan peraturan yang
semakin merumitkan dari koperasi itu sendiri de-fungsionalisasi sebagai solusi
dari berbagai latar belakang permasalahan tersebut di atas kiranya konsep de-fungsionalisasi bagi koperasi adalah sebagai sebuah solusi untuk meningkatkan peran koperasi dan sekaligus sebagai uapay untuk menegakkan jatidi koperasi. Namun sebelumnya apa dan bagaimana konsep dari fungsionalisasi koperasi itu perlu di jelaskan sedikit disini.
De-menurut kamus bahasa Indonesia kita berarti menghilangkan atau mengurangi. Fungsionalisme sendiri berarti doktrik atau ajaran yang menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional. De-fungsionalisme atau de-fongsionalisasidapat kita aktifkansebagai sebuah upaya untuk menghilangkan praktek-praktek koperasi dalam garis-garis fungsi yang tadinya tentu dimaksudkan dalam sebuah alas an kepraktisan dengan caramenggolong-golongkan bentuk koperasi dalam kesatuan fungksi professional seperti yang terjadi pada koperasi-koperasi yang telah disebut di atas.
Terlepas daripermasalahan politik sebagaimana yang disinyalir terjadi pada jenis-jenis koperasi fungsional (revrisond baswir, 2000) maka koperasi fungsioanl sebetulnya di tinjau dari aspek manajemen sendiri tentu sangat merugikan dari koperasi tersebut. Dimana telahterjadi pembatasan secara langsung pada pasar potensial. Dimana hal ini tentu sangat merugikan bagi koperasi tersebut untuk meraih segmen pasar yang lebih luas. Terbatasnya segmen pasar ini pula akhirnya menjadikan koperasi tersebut tidak mampu berkembang dengan baik dan hanya memiliki pangsa pasar yang sempit pula.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perluasan pasar potensial bagi sebuah koperasi itu sangat penting baik ditinjau dari segi transaksi maupun permodalannya. Sebab sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada koperasiitu pelanggan adalah sekaligus pemiliknya yang bertanggungjawab pula terhadap permodalan koperasi. Dimana pada anggotanya (pemilik) pula koperasi bertanggung atas permodalan. Pada kondisi demikian mobilisasi modal juga sangat rendah dan andaikan adapun dalam system pengelolaannya cenderung kurang efisiensi dalam perhitungannya.
Ditinjau dari segi pergerakan koperasi sebagaibasis ekonomi rakyat tentu hal ini juga akan sangat merugikan, karena koperasi sendiri tidakdapat mengembangkan secara leluasa ide-ide pengembangan bagi proses peningkatan bagi kesejahteraan anggotanya secara berkeadilan.
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang dasar kita bahwa koperasi adalah merupakan bangunan perusahaan yang sesuai dengan demokrasiekonomi kita.dimana ada sebuah korelasi makro dari sebuah konsep koperasi sebagai usaha bersama dengan system demokrasi ekonomi kita yang tidak mendasarkan diri pada system demokrasi plutocrat. Dimana para pemegang kekuasaan dan orang-orang kaya atau bermodalah yang menguasai. Hal mana tentu sangat bertentangan dengan system demokrasi ekonomi kita yang disusun berdasarkan atas asas kebersamaan, dari, oleh dan untuk rakyat seua
Hambatan-hambatan strategis
Tentu perlu di sadari pula bahwa de-fungsionalisasi itu sendiri tidak dapat diterapkan semudah yang kita bayangkan. Banyak sekali hambatan yang menyerainya. Baik itu hambatan-hambatan yang bersifat sosiologis, politis maupun administrative.
Hambatan yang cukup signifikan adalah adanya perikatan sosiologis tradisional yang biasanya melingkupi dari pertama kali koperasi itu sendiri. Dalam arti bahwa baik itu koperasi yang muncul secara top-down maupun dariproses buttom-up pada sebagian koperasi, mereka masih sangat terkait pada peikatan-perikatan yang bersifat primordial yang cenderung eksklusif. Hambatan yang kiranya cukup perlu mendapat pertimbangan bahwa konsep de-fungsionalisasi yang diterapkan tiu dapatlah diartikan sebagai konsep “go-publik” ala koperasi. Sehingga kemungkinan dari pemilik “anggota” lama akan merasa bahwa kedatangan orang-orang baru yang sangat dimungkinkan karenamereka tertarik masuk di koperasi tersebut akan merasa “terusik”.
Secara politis adalah bahwa perikatan-perikatan yang kemungkinan terjadi dan telah berjalan lama daripara pengurus terutama dengan pihak “induksemang” akan menjadikan hambatan tersendiri. Dimana biasanya induk semang akan merasa dirugikan atas dasar segala bentuk “pembinaan” yang telah diberikan selama ini. Sehingga persetujuan bagi proses legalisasi bagi tersusunya perubahan koperasi tersebut akan sangat sulit.
Belum lagi bila hal tersebut di kaitkan dengan permasalahan perundang-undangan koperasiyang ada,dimana disebutkan bahwa keanggotaan koperasidi dasarkan pada kesamaan kepentingan (pasal 19 ayat 1, UU no. 25 tahun 1992) dan penetapan bidang kegiatan ekonomi oleh pemrintah sebagai dalih untuk melakukan perlindungan bagi koperasi(pasal 63 ayat 1, UU no. 25 tahun 1992). Hal mana yang memaksa bahwa koperasitersebut harus memiliki kesamaan kepentingan yang biasanyadisadarkan pada profesi dan bukan penjenisan atas produk atau jasa yang dihasilakan.
Hambatan strategis secara administrative adalah bahwa keanggotaan yang akan bersifat terbuka bagisiapapun tentu akan banyak mendatangkan banyak kegiatan administrative. Sehingga kemampuan penanganan data-base berbagai kebutuhan dan keinginan daripara anggotanya akan sangat menentukan sekali dalam hal ini.luasnya pasar yang akan di cover menuntut bagi koperasi untuk mempersiapkan system pengellaan secara lebih professional dan transparan. Begitu pula dalam berbagai aktifitasnya baik itu dalam penyelenggaraan rapat-rapat dan transformasiinformasidan komunikasi antar anggotanya. Perlu pengaturan yang perlu disepakati bersama olehpara anggota-anggotanya agar tidak menghasilakan “kemandegan”dari sebuah perusahaan itu sendiri.
Memulai perubahan
Konsep ini tentu sulit berjalan pada sebuah kopersi yang sudah berjalan dengan pola lama. Sehingga berbagai prubahan yang terjadi akan sangat tertumpu pada moral bagi “elit” dikoperasi tersebut. Sejauhmana menjadikan idea-idea koperasi dalam penegasan jatidirinya terimplementasi secara nyata.
Sementara itu dalam implementasinya tentu pelru dilakukan dengan langkah-langkah yang terancam secara gradual dan secara sistematis. Sebab tanpa perencanaan yang matang, tentu justru akan menghasilakan hal-hal yang kontraproduktif dan menjadikan munculnya social cost yang tinggi bagi perkembangan koperasi itu sendiri.
Adapun langkah-langkah perubahan yang perlu di lakukan :
Pertama adalah bagaimana dilakukan proses membangun wacna tersebut dan mengkomunikasikannya. Proses membangun komunikasi yang di lakukan baik terhadap pihak-pihak internal maupun eksternal dari koperasi tersebut. Kemudian hal yang tak kalahpentingnya adalah mengkomunikasikan nilai-nilai manfaat yang didapat dari perubahan yang terjadi bagi kepentingan bersama dengan sebuah perhitungan-perhitungan yang kadang diperlukan secara matematis.
Kedua, kemudian perlu dilakukan perencanaan secara sistematis baik dari segi administrasi yang akan dilakukan disertai dengan berbagai sekenario-sekenario yang mungkin akan muncul di lapangan. Baik itu menyangkut perubahan dalam anggaran dasarnya dan begitu pula biasanya dalam pertegasan berbagaiprinsip yang lain terutama masalah kemandirian dan keotonomian dari koperasi.
Ketiga, adalah dilakukan proses sosialisasi secara luas dari perubahan-perubahan yang terjadi tersebut guna mencapai pada maksud-maksud dari perubahan yang dikehendaki. Sebab tanpa proses sosialisasi yang luas dariperubahan-perubahan yang terjadi tentu sekali lagi akan hanya menjadikan perubahan yang terjadi tidak menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan di tinjau dari segi manfaat yang diharapkan.
Hal yang perlu di ingat bahwa perubahan yang terjadi sebagai hal yang prinsipel adalah bahwa apaun yang akan dirubah haruslah bukan hanya kehendak dari segelintir orang di koperasi tersebut. Kesemuanya tentu disarahkan pada anggotanya. Sebab ditangan anggotalah koperasiitu akan berarti atau tidak bagi kehidupan mereka
Kesimpulan
Memang konsep ini di dalam pergerakan kopersi kita bias jadi adalah merupakan sebuah konsep radikal. Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak dari koperasi dan tidak hanya di Indonesia saja. Masih banayak yang menggunakan konsep lama.pada pergerakan koperasi internasional seperti internationalCo-operative Aliance (ICA) sekalipun juga masih belumberani membuka wacana ini secara trbuka. Hal mana sebagai permakluman, karena memang pada dasarnya kondisi dan situasi globalisasi yang mengejala adalah sebagai beuk pergerakan neo-kapitalisme terus memaksa koperasi untuk melakukan terus menerus langkah prjuangan. Dimana mungkin dirasakan akan sulit bila tidak dilakukan bentuk-bentuk proteksi sedemikian rupa.
Tanpa bermaksud untuk menafikan upaya yang dimaksudkan bahwa sekalilagi perlu ditegaskan disini sebetulnya konsep ini bukan dimaksudkan untuk memperlemah “ruh” perjuangan. Justru sekali lagi untuk menegaskan bentuk perlawanan itu secara jantan dan nyata. Bahwa konsep ini dimaksudkan untuk melakukan proses penegasan atas jatidiri koperasi itu sendiri yang tentu dalam citra-citranya bukan hanya dimaksudkan untuk melakukan pertentangan tiada akhir. Tapi sekaligus mampu menjadi sebuah alternative jalan tengah dari sebuah pergumulan kubu kiri dan kanan yang terus terjadi.
Proses untuk menjadi pada konsep “go-Public” ala koperasi ini tentu akan membawa berbagai gejolak.baik itu yang bersifat internal maupun ekstrnal. Sehingga proses sosialisasi dan proses untuk membangun wacana akan memegang peran penting bagi terwujudnya proses de-fungsionalisasi. Kolotnya pemikiran kita pada pemikiran lama tentu akan mempengaruhi berbagai perubahan yang terjadi. Kalau boleh mengkritik termasuk para militant koperasi generasitua, yang membedakan koperasidari koperasi orang muda dan koperasi orang tua!.
Purwokerto, 12 Mei 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar