MENERUSKAN GAGASAN IBNOE SOEDJONO
ATAU MENGHABISI GAGASAN IBNOE SOEDJONO ?
Oleh : Suroto
Sungguh menarik membaca Draft-2 Makalah Bapak Sularso, selaku Ketua Pembina Yayasan Ibnoe Soedjono Center (ISC), dengan judul “Meneruskan Dakwah Ibnoe Soedjono”. Makalah tersebut saya dapatkan dari Bapak Djabarudin Djohan, ketua LSP2I dan atas izin Pak Djabar dan perkenan Pak Larso tentunya, bersama ini saya ingin memberikan tanggapan atas paper draft tersebut. Namun demikian, pada kesempatan ini juga sebelumnya saya sampaikan permohonan maaf kepada Pak Larso, karena tanggapan ini tentu sudah melenceng dari maksud dan tujuan disusunnya draft yang saya tahu adalah demi tujuan internal Yayasan. Tulisan ini semata-mata saya maksudkan untuk tujuan membangun wacana yang menurut penilaian saya pribadi, sebagai orang muda yang baru belajar koperasi, sangat jarang kita dapatkan lontaran-lontaran cerdas yang membangkitkan semangat seperti yang Pak Larso lontarkan dalam paper draft-2 tersebut.
Pertegasannya sebagai kaum esensialis ditunjukkan oleh IS dengan memberikan peringatan agar kita belajar koperasi tidak dari Undang-Undang, karena bagaimanapun UU itu adalah produk politik, tapi belajarlah koperasi dari sejarahnya yang juga tidak dapat dilihat semata-mata sebagai sejarah ekonomi tapi sejarah pemikiran sosial-ekonomi. Sebagaimana kita pahami bahwa koperasi lahir sebagai anak sejarah penindasan sistem kapitalisme dan koperasi adalah sesuatu yang berbeda dan merupakan sebuah alternatif yang sama sekali baru dari sistem-sistem main stream yang ada sebelumnya, apakah itu komunisme dan atau kapitalisme. Orientasi yang berbeda ini juga terlihat dari kemampuan koperasi untuk membangun sistem yang memang tidak hanya dapat dilihat dalam dimensi mikro organisasi saja, atau sebagai bangun perusahaan saja. Koperasi sebagai sistem nilai memiliki dimensi yang luas baik secara makro ideologi, mikro organisasi, sebagai wahana individualitas berikut sebagai bagian penting dari social change movement.
Betapapun konsep perusahaan swasta kapitalis melakukan reorientasi pelayananya dari awalnya menganggap sebagai buyer, kemudian consumer, customer, client, dan yang ter upto date dalam istilah marketing mereka adalah partner, tetap saja tidak dapat melampaui pemikiran strategis maksimalisasi pelayanan koperasi yang menjadikan para penerima manfaat sebagai owner. Nilai manfaat (utility) dari kepemilikan dan manfaat sebagai dari sekadar sebagai obyek tentu sangat berbeda jauh. Jadi menurut hemat saya IS sudah ‘clear’, tantanganya adalah bagaimana konsep-konsep turunan yang bersifat manajerial dari model mikro organisasi ini dapat terus kita kembangkan.
Padahal kita tahu lapangan usaha yang luas dalam bentuk apapun dapat dikerjakan dengan pola koperasi, seperti halnya worker’s co-op, producer’s co-op, Credit Union, dll. Contoh-contoh keberhasilan koperasi dalam menampung aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang semakin maju saat ini juga di tunjukkan dengan munculnya “Koperasi-koperasi Generasi Baru” (New Co-op Generation) seperti koperasi penguburan, kitchen music, koperasi photograpi sosial, hingga koperasi pemburu ular. Apalagi model pengelolaan listrik, telekomunikasi, dll yang sudah jelas siapa konsumennya. Saya memperkirakan, bahwa karena tuntutan transpraransi, pembagian yang adil atas jerih payah, demokratisasi segala sektor dan kesadaran masyarakat akan arti penting lingkungan yang sehat semakin menyeruak dimana-mana, maka koperasi akan menjadi bangunan organisasi futuristik yang relevan dimasa yang akan datang.
Koperasi saya kira akan compatible apabila diukur dengan cara-cara yang compatible pula. Persoalan bahwa koperasi belum banyak memiliki instrument-instrumen pendukungan operasional yang memadai itu adalah merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi gerakan koperasi, bukan kemudian kita harus tunduk dan menyerah dengan cara-cara kerja yang kapitalistis. Seperti halnya demokrasi yang hanya akan berjalan karena orang-orang yang demokrat, pancisila yang akan berjalan dengan orang-orang pancasilais, maka koperasi juga hanya akan berjalan karena koperasiawan atau homo co-operativus. Mengenai masalah profesi, dapat kita ambil contoh seperti halnya seorang notaris, maka akan layak dan kredibel dalam menangani persoalan-persoalan koperasi apabila dirinya sendiri memang memiliki kredibilitas professional dalam bidang koperasi yang sesungguhnya bisa didapat dalam sekolah khusus perkoperasian bersertifikasi.
Kelemahan mendasar lainya dapat kita lihat dari banyaknya pasal yang interventif terhadap koperasi dan mandulnya UU ini karena sifatnya yang tidak imperatif dan memiliki sanksi yang tegas. Karena banyak kelemahanya ini juga dapat kita lihat bahwa berbagai pelanggaran, penyimpangan dari quasi/pseudo koperasi tidak mendapatkan penaanganan yang tepat. Kelemahan mendasar ini dilapangan akhirnya banyak dimanfaatkan oleh para oportunis-oprtunis koperasi yang akhirnya merusak citra koperasi. Menurut saya, diakui atau tidak hancurnya citra koperasi, lemahnya kepemimpinan di koperasi juga turut disumbang oleh UU yang tidak kompatibel dengan Jatidiri koperasi tersebut. Menurut saya fungsi UU koperasi yang utama sesungguhnya adalah mengamankan jatidiri koperasi itu sendiri, yang sebetulnya sudah ada sejak koperasi itu sendiri berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar