Tuntutan masyarakat atas demokratisasi bentuk-bentuk layanan publik terlihat terus mengejala seiring dengan bergulirnya wacana demokrasi. Institusi-institusi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, pengaman sosial, transportasi, air, dll dituntut adanya transparansi, keterlibatan, dan juga pembiayaan yang murah bahkan bila dimungkinkan malah gratis seperti dalam fungsi layanan utama dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam keadaan demikian maka koperasi sebagai organisasi perusahaan yang demokratis sebetulnya memiliki peluang yang startegis agar dapat memainkan perananya secara lebih luas di tengah-tengah masyarakat.
Seperti kita pahami, dalam penyelenggaraan layanan publik yang demokratis, setidaknya harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut ; berorientasi pada pelayanan terbaik (benefit oriented), ada partisipasi langsung masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan, dijamin adanya kesetaraan dalam pengelolaanya, perlindungan dana kembali (economic patrone refund) dari yang dibayarkan masyarakat, pertanggungjawaban pada masyarakat, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan administrasi dan keuangan, kesetaraan(non-diskriminasi) dan keberpihakan pada yang lemah.
Kalau kita coba konstruksikan dari model pengelolaan dari badan-badan hukum perdata/Privat yang telah kita miliki selama ini maka ada tiga jenis. Pertama model pengelolaan oleh negara (pemerintah) murni. Kedua model swasta kapitalistis/feodalistik. Ketiga adalah model Demokratis.
Badan Hukum negara ini karena otoritas yang melekat padanya sangat kuat maka bisa menjadi kehilangan nafasnya untuk memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat dan seringkali malah berperilaku sebagai majikan atas asset-aset yang dikuasainya. Karena masyarakat adalah hanya sebagai obyek dari pelayanan, maka masyarakat tidak banyak terlibat. Termasuk dalam hal penjualan-penjualan asset negara ke pasar (privatisasi). Negara menjadi semau-maunya karena negara punya sifat memaksa. Tuntutan, keluhan masyarakat laksana anjing menggonggong kafilah berlalu.
Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang bobroknya bentuk layanan publik yang dikelola oleh negara ini. Selain birokratif, seringkali banyak pemborosan yang dilakukan oleh organisasi layanan publik model negara ini dengan istilah yang sangat permisif “in-efisiensi” yang bebannya ditanggung oleh masyarakat sebagai pembayar pajak. Cerita privatisasi (swastanisasi) adalah drama pengalihan yang skenario dan aktornya ditentukan sendiri oleh Pemerintah. BUMN ini diorientasikan juga oleh Pemerintah kita dalam rangka untuk mencari keuntungan (profit making). Bahkan bisa dijual ke swasta kapitalis dengan dalih untuk menutup defisit anggaaran.
Kedua, model kepemilikan swasta kapitalistik dan feodalistik. Bentuknya bisa seperti perseroan (PT), CV. Firma, UD, atau Yayasan. Model kepemilikannya adalah orang perorangan dan atau beberapa gelintir orang yang memiliki modal. Diinvestasi dan dibiayai oleh mereka para pemilik modalnya dan dalam proses pengaturanya digunakan prinsip otoritas dominan pada pemilik saham terbesar dalam prinsip satu saham satu suara (one share one vote) atau otoritas pendiri dan pengurus pada bentuk Yayasan.
Filosofinya ditekankan pada pemikiran bahwa apabila layanan publik diserahkan kepada swasta kapitalis/feodalistik model Perseroan atau Yayasan ini maka yang akan terjadi adalah fungsi layanan publik akan mendapatkan layanan prima karena akan terjadi efisiensi karena persaingan yang terjadi di pasar. Motifnyanya adalah untuk pencarian keuntungan(profit oriented). Pada masa kompetisi (persaingan) mungkin masyarakat akan banyak diuntungkan dengan harga murah, namun celakanya, karena kepemilikanya adalah bersifat perorangan atau oleh sekelompok orang yang memiliki modal besar, pada saat kepemilikan modal mereka menjadi akumulatif, maka yang muncul adalah monopoli di pasar itu sendiri. Konsep layanan publik yang dikelola oleh swasta kapitalis ini akan memunculkan tiran minoritas bagi kepentingan layanan moyoritas masyarakat.
Ketiga, model kepemilikan demokratis. Kepemilikan/pengelolaan dari model ini sebetulnya di Indonesia sudah kita kenal dengan model Badan hukum koperasi. Investasinya dapat dari pemerintah dan atau masyrakat, dikelola oleh masyarakat dan ditujukan untuk melayani masyarakat. Prinsip kepemilikan dan otoritas pengambilan keputusanya adalah satu orang satu suara (one man one vote) karena berbeda dari model layanan sebelumnya, koperasi ini adalah bentuk dari perkumpulan orang (people base association) dan bukan perkumpulan modal (capital base association). Jumlah kepemilikan modal didalam sistem koperasi ini tidak dijadikan sebagai penentu, betapapun modal dianggap penting, didalam koperasi hanya sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan manfaat(benefit). Tujuan dari koperasi ini tidak bagi akumulasi keuntungan (profit oriented)tapi diorientasikan kepada fungsi peningkatan manfaat layanan (benefit oriented). Koperasi dalam layanannya juga bukan seperti dalam yang ada pada model Yayasan yang penekananya adalah karitas.
Di negara lain seperti model koperasi pemangku kepentingan (multistakeholder co-operative) ini juga digunakan sebagai alternatif badan hukum layanan publiknya. Seperti misalnya Amerika Serikat dalam pengelolaan infrastuktur listriknya dipedesaan hingga 17, 2 %, dan Colombia dalam pengelolaan rumah sakitnya yang melayani hingga 22 % dari layanan kesehatan yang ada di negara ini. Konsep Koperasi pemangku kepentingan (co-operative multistakeholder) adalah bentuk koperasi yang melibatkan seluruh komponen baik perwakilan pemerintah, pegawainya, masyarakat pengguna jasanya.
Penutup
Sejarahnya yang panjang dan berlanjut dari generasi ke generasi menunjukkan bahwa koperasi memiliki tradisi yang harmonik terhadap perubahan jaman dan terus berdialog interaktif dengan realitas sosialnya. Seperti halnya sistem nilai yang lain, koperasi membutuhkan sayap pergerakan, yaitu sebuah perjuangan bagi terwujudnya nilai-nilai universal ; keadilan, solidaritas, demokrasi, kejujuran/transparansi, dll yang merupakan nilai-nilai virtus yang selayaknya juga diperjuangkan bagi kita semua yang mencintai tatanan hidup yang lebih baik menuju masyarakat global yang lebih berkemanusian dan berkeadilan (humanistic global community). Karena sejarah pemikiran demikian maka koperasi bukanlah sub-sistem dari sistem mainstream yang ada. Kalau persoalannya dia dapat bertahan di dalam sistem apapun, itu karena sifat koperasi yang cukup kenyal. Tapi koperasi adalah memiliki identitasnya sendiri, dan karena identitasnya tersebut maka koperasi ada
Koperasi sebagai organisasi demokratis dan selalu menjunjung tinggi jalan kerjasama sebetulnya memiliki peluang yang besar untuk memainkan perananya di dalam kancah globalisasi yang sedang akan dilanda oleh krisis akibat persaingan dan konflik saat ini. Konsolidasi organisasi baik ditingkat lokal, nasional dan internasional adalah penting untuk segera dilakukan untuk menghindarkan diri dari serangan kapitalisme global. Semuanya tergantung dari para pelaku koperasi sendiri, maukah koperasi memasuki dunia dengan visinya secara berani atau terlibas habis oleh kapitalisme global!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar