Belum lama ini kita semua dikagetkan oleh kasus yang menimpa Bank Century dengan adanya kasus penggelapan (perampokan) uang nasabah oleh pemilik dari Bank tersebut. Kasus ini terasa tidak adil lagi karena ternyata sebagian besar deposannya yang menyimpan uang mereka dibawah 2 milyard ternyata juga tidak segera dapat penggantian dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana mestinya. Malahan mereka memberikan prioritas bagi para deposan besar. Lebih menyakitkan lagi bagi masyarakat luas adalah ternyata Pemerintah dengan uang pajak yang dibayar oleh masyarakat malahan secara terburu-buru memberikan dana talangan (bail-out) yang jumlahnya cukup fantastis, 6,7 trilyun. Kasus ini tentu membuka pada kita semua,bahwa lembaga keuangan yang dimiliki oleh investor pribadi (privat-investor) dan berorientasi pada profit tentu sangat membahayakan bagi masyarakat. Bukan saja berpotensi untuk penggelapan, tapi juga memarakkan adanya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Sebetulnya kita memiliki model alternatif dar sistem bank umum ini. Model ini lebih dapat memberikan rasa keadilan bagi nasabahnya dan juga memberikan dampak sosial ekonomi yang luas bagi kehidupan masyarakat. Model bank ini di dunia kita bisa mengenalnya dengan istilah Credit Union (CU) dan di Indonesia kita mengenalnya dengan istilah Koperasi Kredit (Kopdit). Statisik dari model perbankkan ini hingga tahun 2008 lalu sudah menunjukkan jumlah anggota (pemilik dan nasabah) sebanyak 1 juta orang, meliputi asset 5,9 trilyun rupiah dengan jumlah primer hamper 1000 koperasi yang ada diseluruh pelosok tanah air. Model Koperasi ini tidak saja telah efektif untuk mengangkat kegiatan ekonomi usaha kecil tapi juga telah melayani dalam jangka waktu yang panjang kepada para petani-petani anggotanya yang lebih dari 50 persen. Lihat www.cucoindo.org
Koperasi Kredit ini dalam perannya juga luas betapapun pemerintah kita mengkerdilkanya dengan menutup pintu liquiditas ke Bank Indonesia dan memposisikan mereka sebagai “kecil”. Selain meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengatur keuangan rumah tangga mereka melalui program pendidikan yang wajib bagi anggota (pemilik)nya, juga berperan untuk meningkatkan keadilan ekonomi dan sosial dalam memperluas kepemilikkan. Sementara dalam hal redistribusi pendapatan, koperasi model ini digerakkan dalam sistem perlindungan dana kembali (economic patrone refund) dengan pembagian deviden secara adil berdasarkan perhitungan balas jasa simpanan dan pinjaman dan dikelola dalam menejemen at cost yang efisien.
Selama ini di negara kita sebetulnya telah dikenal tiga model dari kepemilikan perbankkan, pertama adalah model kepemilikkan investor (Investor-ownership), kemudian model kepemilikkan pemerintah dalam model Bank milik negara ( Bank BUMN) dan yang ketiga adalah model kepemilikkan masyarakat luas melalui model koperasi. Belajar dari berbagai kejadian yang muncul dari sistem perbankan kita selama ini ada baiknya kalau kita coba pertimbangkan kembali model kepemilikkan dari bank-bank yang ada. Lagian, krisis yang terjadi adalah merupakan satu bukti bahwa sistem perusahaan kapitalis itu sudah tidak akan efektif lagi dalam menangani persoalan masyarakat yang menginginkan adanya sistem bisnis yang fair, transparan, saling menguntungkan, dan memungkinkan sistem pembagian yang adil. Mari kita coba cari jawaban2 baru dari persoalan lama agar kita tidak lagi jatuh pada lubang yang sama.
Purwokerto, 18 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar