Hidup miskin memang menderita, tapi lebih sengsara bagi mereka yang terpaksa harus terusir dari negerinya sendiri dan hidup dalam di kamp pengungsian. Demikian ungkapan yang pas kiranya bagi kondisi memprihatinkan bagi masyarakat eks. Transmigran saat ini. Setelah sekian puluh tahun merantau dengan berbekal sekantong harapan sekedar untuk membangun impian hidup sederhana; kecukupan sandang, pangan dan papan. Terpaksa harus pupus semua dan harapan tinggalah harapan.
Sekejap segala pupus karena berbagai pergolakan yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini. Mereka terusir dari tempat tinggal yang dibangun dengan susah payah, jadi korban penganiayaan dan terpaksa harus mengungsi, menderita tak punya apa-apa lagi. Ironis memang bila kita mendengar betapa sebelumnya proyek transmigrasi yang kurang lebih telah memindahkan sekitar 15 juta jiwa disebut-sebut sebagai salah satu sukses pembangunan di masa orde baru.
Hidup trauma jadi korban kerusuhan dan terpaksa harus tinggal di kamp-kamp pengungsian. Sebagian pulang ke daerah asal jadi eksodan yang harus menumpang di tempat sanak famili yang kadang hidupnya hanya cukup untuk keluarganya sendiri. Tanpa pekerjaan dan menaggung banyak beban ekonomi,serta trauma akibat kerusuhan yang terjadi. Banyak di antara anak-anak terpaksa putus sekolah dan tidak mendapat gizi yang cukup. Diperkirakan kurang lebih mencapai 207.795 KK atau 912.514 jiwa menjadi pengungsi akibat berbagai gejolak yang terjadi di daerah-daerah, dimana jumlah ini terus bertambah (Depnakertrans, 2000).
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa transmigran itu berasal dari background sosial-ekonomi-kultural yang marginal (baca: terpinggirkan). Hidup miskin dan terhimpit oleh desakan pembangunan yang selalu mendewakan pertumbuhan dan mengesampingkan rasa keadilan ada yang berasal dari para petani gurem, pedagang kaki lima, gelandangan, pengamen jalanan, tukang becak,tuna wisma, hingga warga korban proyek prestisius “kedung Ombo” yang hingga saat ini masih menyisakan masalah yang cukup pelik. Menjadi bagian dari perlakuan kasar (baca: garukan) para petugas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) demi mengemban amanat K3 (Ketertiban, keamanan, dan kebersihan) kota. Kemudian dengan satu dalih “pembinaan” oleh depertemen sosial di jadikan sebagai sebuah proyek “kemiskinan”
Setelah itu dengan sedikit pengarahan diadakan pengerahan oleh departemen transmigrasi dengan penempatan di daerah tujuan transmigrasi yang orientasinya pada pencapaian target kuantitatif proyek. Mereka di tempatkan di suatu wilayah yang belum jelas potensi ekonominya. Tidak tahu bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat setempat. Hingga akhirnya menyebabkan masalah baru lagi di daerah tujuan. Banyak daerah baru tersebut terisolir dan tak terjangkau oleh alat transportasi, sarana pendidikan, air bersih serta sarana kesehatan yang minim. Di banyak tempat seperti di daerah Papua dan Kalimantan misalnya, hingga karena sarana transportasi yang sulit menjadikan jatuhnya harga hasil panen mereka. Konflik antar etnis yang disebabkan kurangnya pola perencanaan juga mewarnai gambaran permasalahan transmigrasi di berbagai daerah.
Satu ilkustrasi misalnya, sebagaimana di gambarkan oleh transmigran sub-pemukiman (SP) 7-8 Bongo, jayapura, Papua, yang terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka karena tergenang air hingga tanaman membusuk tanpa fasilitas sekolah dan guru, tanpa sumber air bersih yang memadai, lebih menyedihakan lagi adalah ketiaka meminta perlindungan dan penyelesaian dengan menghadap ke dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), mereka harus menghadapi nasib sial diusir oleh wakil-wakil mereka dari rumah rakyat tersebut.
Memang dapat disadari bilamana hal ini terjadi pada era otonomi daerah saat ini. Dimana telah terjadi pergeseran politik elit dari pusat ke daerah. Apalagi bila di kait-kaitkan dengan kegagalan program yang terjadi adalah merupakan bagian dari program transmigrasi itu bersifat terpusat dan kemudian banyak hal hanya menjadi beban bagi daerah. Belum lagi di tambah sentiment sosial dari masyarakat asli terhadap para transmigran (baca : Orang Jawa) yang dianggap sebagai “penjajah”. Dari berbagai kasus proses asimilasi kultur yang mengalami kegagalan dan atau karena memang dikarenakan adanya permasalahan sosial yang lain yang ada pada kondisi tertentu dapat menjadi potensi konflik
Pembangunan transmigrasi yang ada hingga saat ini sebetulnya sudah dirintis sejak jaman penjajahan Hindia Belanda tahun 1905 dengan sebuah program kolonisasi. Kemudian sejak jaman kemerdekaan telah berlangsung sejak tengah abad yang lalu dan dijadikan sebagai salah satu strategi pembangunan sejak berdirinya depertemen tenaga kerja, Koperasi dan transmigrasi pada tanggal 12 desember 1950. Departemen atau lembaga yang menaganipun juga sering ganti-ganti sesuai dengan perubahan politik yang terjadi di Negara ini. Hingga saat ini sudah tiga belas kali depertemen yang menangani berganti-ganti
Memang pada mulanya pembangunan transmigrasi dijadikan sebagai seuah koreksi atas ketimpangan penduduk yang terjadi di luar Jawa dan di Jawa. Dimana persebaran penduduk yang padat di Jawa dan tidak memiliki daya beli, demikian akan menyulitkan dalam rangka untuk memajukan kesejahteraan bagi rakyat. Berangkat dari dasar pemikiran demikian sehingga untuk mencapai kemakmuran rakyat sbagaimana di sampaikan oleh H. Mohammad Hatta (selaku wakil presiden pada waktu itu) pada koferensi ekonomi yang diselenggarakan tanggal 3 februari 1964 itu maka perlu diselenggarakan program Transmigrasi. Proses pengaturan persebaran penduduk perlu diatur sedemikian rupa dengan politik industrialisasi untuk mencapai kemakmuran bagi sebesar-besar rakyat Indonesia (Swasono, 1988).
Hanya saja disini permasalahan itu, ternyata banyak hal dari proses pemindahan penduduk itu bukan pada maksud utama yaitu guna memperbaiki tingkat daya beli rakyat pada umumnya. Tapi lebih banyak digunakan sebagai komoditas politik. Pada proses penempatan yang terjadi juga cenderung mengejar target dan banayak hal tidak mengindahkan hak-hak ulayat masyarakat setempat. Sehingga pada akhirnya sering menimbulkan berbagai kasus-kasus sengketa dengan masyarakat setempat.
Pada keibjakan program yang dijalankan juga menunjukkan adanya banyak kelemahan dalam hal proses membangun kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang lebih berdaya guna dan berkelanjutan. Proses yang terjadi bersifat top-down dan ekstraktif dan bukan di lakukan dengan cara-cara partisipatif. Hal ini sebagai missal di gambarkan pada pola Transmigrasi PIR (Plasma –Inti-Rakyat). Dimana koperasi yang seharusnya sesuai dengan falsafahnya adalah merupakan organisasi sosial ekonomi masyarakat yang bersifat emansipatif dan partisipatif dari anggotanya, ternyata hanya mampu menjadi bagian dari sub-orrdinasi kepentingan eksploitatif dari para investor swasta. Sehingga sekali lagi posisi para petani transmigrasi hanya menjadi korban “politik rente” para pemilik modal besar.
Untuk itu sebagai sebuah solusi dalam hal ini, maka pemerintah pusat tentu tak boleh lepas tanggungjawab demikian saja. Dalam hal ini perlu langkah proaktif yang dilakukan untuk mengkoordinasi dengan daerah-daerah agar dapat dicapai sebuah solusi secara komprehensif atas seluruh permasalahan. Baik dalam menangani permaslahan gangguan keamanan yang terjadi di daerah hingga proses pengembangan potensi wilayah yang tentu perlu di singkronkan dengan kemampuan dan keamanan daerah setempat
Pada proses penanganan yang bersifat emergensi adalah memberikan bantuan-bantuan kebutuhan hidup standard minimal, pemenuhan gizi bagi balita serta pendidikan bagi anak-anak dengan alokasi anggaran yang jelas. Begitu juga untuk mengkoordinir dari berbagai bantuan swadaya dari masyarkat perlu adanya penanganan secara khusus. Jaminan atas keamanan bagi mereka yang masih tinggal di daerah juga perlu di jadikan prioritas. Pada intinya perlu segera dilakukan upaya serius dari pemerintah untuk memetakan permasalahan dan juga proses penanganannya dengan cara-cara yang arif dan bijaksana serta lebih komprehensif.
Sementara itu guna meningkatkan potensi wilayah-wilayah yang ada dan sekaligus dalam rangka unuk mengoptimalkan potensi daerah maka dalam hal ini perlu adanya sebuah prioritas khusus bagi daerah transmigrasi memang. Terutama proses untuk memajukan industri rakyat dengan pola yang lebih adil dan memperhatikan hak-hak rakyat. Kemudian memperbaiki pola institusi sosial dan ekonomi yang ada serta bagi perbaikan kualits sumber daya manusianya. Demikian sehingga setidaknya upaya yang dilakukan dapat memberikan secerah harapan bagi masyarakat transmigran yang telah tergelincir dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar