Pendahuluan
Koperasi di Negara berkembang memiliki karakteristik yang berbeda dengan koperasi di negara-negara maju. Perbedaan yang ada bukan hanya disebabkan oleh struktur sosial masyarakat di negara berkembang yang masih bersifat tradisional, namun juga sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, ekonomi dan politik yang diterapkan. Kalau di negara-negara maju koperasi telah mampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang otonom dan mandiri, diberbagai Negara berkembang seprti halnya Indonesia, koperasi lebih banyak masih di dominasi perannya oleh pemerintah. Koperasi baik ditingkat lokal maupun nasional cenderung difungsikan sebagai alat pemerintah ketimbang sebagai lembaga yang otonom dan mandiri dari anggota-anggotanya.
Kesadaran masyarakat Indonesia untuk berkoperasi juga terlihat masih rendah. Dari kurang lebih 215 juta jumlah penduduk Indonesia saat ini, baru sekitar 27 juta individu anggota koperasi yang tergabung dalam 103.000 primer koperasi yang tersebar di seluruh pelosok tanah air (Menkop dan UKM : 2003). Dari jumlah koperasi yang ada inipun masih banyak yang fiktif atau sekedar papan nama.
Dalam persaingan, koperasi masih kalah dengan bentuk-bentuk perusahaan persero kapitalis dan belum berhasil merebut opini. Berbagai kasus korupsi, penggelapan dan penyimpangan yang terjadi di koperasi semakin membuat kepercayaan masyarakat menurun terhadap koperasi.
Keadaan demikian tentu juga berpengaruh terhadap peranan pemuda di dalam koperasi. Koperasi bagi orang muda masih dianggap sebagai kegiatan yang kurang menarik dan baru sedikit yang mengambil manfaat daripadanya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat partisipasi orang muda yang minim di koperasi. Sementara, sebagian mereka yang aktif dalam berbagai sektor koperasi masih belum menunjukkan tingkat komitmen yang kuat terhadap keberlangsungan koperasi. Jarak antara pemuda dan koperasi di Indonesia masih terasa sangat jauh.
Organisasi pemuda koperasi dan pencapaiannya
Secara klasmopologis umur, jumlah pemuda koperasi di Indonesia kurang lebih sebanyak 5 juta orang (Kuncoro : 2004). Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah mereka masih sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah pemuda pada umumnya yang berjumlah kurang lebih 90.352.501 juta orang (Kriteria menurut KNPI).
Peranan pemuda koperasi di Indonesia terdiri dari model. Pertama, mereka yang berafiliasi dalam berbagai sektor koperasi umum seperti koperasi kredit (kopdit), koperasi unit desa (KUD), koperasi pertanian, koperasi susu dan lain-lainnya. Kedua mereka yang berafiliasi membentuk koperasi secara eksklusif yang dikhususkan hanya bagi pemuda seperti koperasi mahasiswa (Kopma), koperasi siswa (kopsis), koperasi pemuda (Kopda), koperasi pondok pesantren (koppentren) dll.
Mereka yang berafiliasi di dalam berbagai sektor organisasi koperasi masyarakat umum seperti koperasi kredit, koperasi susu, koperasi pertanian dll, kontribusinya belum cukup signifikan. Pelibatan mereka di koperasi-koperasi ini juga belum terlihat ada alokasi anggaran dan komitmen program bagi orang muda. Dalam kegiatan ekonomi mereka juga cenderung diabaikan.
Sementara itu, kegiatan-kegiatan positif yang telah mereka lakukan selama ini misalnya menjadi fasilitator pendidikan, menyelenggarakan pamer pedet di koperasi susu, menyelengarakan perlombaan-perlombaan, mengeloa buletin/majalah koperasi, memelihara sapi dan lain sebagainya. Namun secara umum mereka belum banyak terlibat dalam mengambil kebijakan di koperasi. Dalam kasus dibeberapa koperasi mereka ada yang membentuk forum tersendiri untuk mengaktualisasikan kegiatan mereka.
Sementara itu, bagi mereka yang aktif dalam koperasi esklusif telah berhasil menyusun organisasi apex baik di tingkat local maupun nasional. Di tingkat nasional, pemuda koperasi berafiliasi dalam berbagai organisasi. Organisasi tersebut adalah ; Badan komunikasi pemuda koperasi (BKPK) yang merupakan organisasi kepemudaan koperasi di bawah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), kemudian koperasi pemuda di Indonesia (Kopindo). Sedangkan koperasi mahasiswa di tingkat nasional membentuk jaringan kerjasama dalam Forum Komunikasi Koperasi Mahasiswa Indonesia (FKKMI). Sementara di tingkat local ada Himpunan Koperasi Mahasiswa Yogyakarta (HKMY), Akomas (Asosiasi Koperasi Mahasiswa Semarang), Akukopma (asosiasi Koperasi Mahasiswa Jakarta), Asbikom (Asosiasi Bisnis Koperasi mahasiswa Bandung). Dalam aktifitasnya (kecuali Kopindo yang merupakan sekunder koperasi pemuda), organisasi yang lainnya hanya menjalankan aktifitas keorganisasian non-bisnis, seperti kongres, seminar, lokakarya, pendidikan dan pelatihan, bengkel kerja dan lain sebagainya.
Sedangkan bentuk kegiatan bisnis yang dilakukan oleh koperasi di tingkat primer berupa usaha-usaha konvensional seperti mendirikan uit pelayanan minimarket/toko swalayan, fotocopy, kantin, wartel, simpan pinjam, kursus komputer dan bahasa asing dan sebagian kecil yang mengelola asrama mahasiswa. Kegiatan organisasi yang dijalankan berupa lokakarya, seminar, pendidikan dan pelatihan koperasi, manajemen, dll. Koperasi-koperasi mahasiswa rata-rata belum mampu mengoptimalkan sumberdaya dan hidup ditopang oleh fasilitas berlebih dari “induk semang” mereka, Perguruan tTinggi tempat mereka berada.
Koperasi mahasiswa dan wacana perubahan
Khusus untuk organisasi koperasi mahasiswa, hingga saat ini yang menunjukkan keaktifan kurang lebih 139 koperasi. jenis koperasi ini berdiri pertama kali pada tahun 1974, yaitu Kopma “Bumi Siliwangi” IKIP Bandung atau sekarang telah berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi lain di Indonesia. Namun ada sebuah catatan menarik bahwa menurut Darsono (2003) Kopma ini berdiri juga tidak terlepas dari upaya “memberangus” suara mahasiswa yang menuntut adanya perubahan sosial politik pada era 1970-an yang kemudian dikuatkan dalam payung surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no. 01/V/1978 tentang normalisasi kehidupan kampus dan pembentukan badan koordinasi kampus (NKK/BKK). Kopma ini dihidupkan sebagai bagian satelit kecil dari perguruan tinggi untuk menertibkan mahasiswa untuk kembali ke kampus dan mejadi bagian dari “menara gading” perguruan tinggi. Sehingga seringkali ada tuduhan dari kalangan mahasiswa lainnya yang mengatakan Kopma tak ubahnya sebagai antek kapitalis. Terlihat hanya sebagai sebuah lembaga aktualisasi dalam pengembangan kewirausahaan untuk bekal mereka nanti bekerja di sektor kapitalis kemudian.
Kenyataan di atas didukung lagi oleh hasil analisa dari Canadian Co-operative Association (CCA) pada penelitiannya yang dilakukan pada tahun 1996 terhadap 6 buah Kopma besar di Indonesia sebagai berikut, "We didn’t see the service provided by these co-operative as instrument of democracy or change, but rather as a means of satisfying tangible of consumbable needs. Perhaps we didn’t see these co-operatives as a part of something larger, such as a consumer co-operative movement".3
Trend pendirian kopma hingga tahun 1995, 12% berdiri antara tahun 1975-1979, 68% berdiri antara tahun 1980-1986, dan 21% berdiri antara tahun 1986-1995. sedangkan ditinjau dari sifat keanggotaannya, kebanyakan masih bersifat otomatis, yaitu system keanggotaan ini terjadi secara otomatis terhadap mahasiswa yang diterima diperguruan tinggi tersebut. Ada 68% masih bersifat otomatis atau top-down dan baru 32% yang bersifat sukarela (Darsono : 2003). Walapun akhir-akhir ini ada beberapa koperasi yang menunjukkan adanya perubahan system keanggotaan ke ssstem sukarela atau berdasarkan pada kesadaran sendiri. Bahkan ada diantaranya yang membuka diri menjadi koperasi umum dan keanggotaannya terbuka bagi siapapun juga seperti layaknya model koperasi konsumsi biasa dengan suatu alasan prinsip.
Perubahan ke system yang “radikal” dengan menjadikannya sebagai koperasi konsumsi ini setidaknya dapat dilihat pada hasil kesimpulan seminar dan lokakarya koperasi mahasiswa Indonesia tentang “potret model kopma” kedepan sebagai berikut :
- Model kopma yang tetap bertahan dalam wujudnya semula, yaitu koperasi yang terbatas keanggotaannya pada mahasiswa saja,
- Model kopma yang tetap mempertahanan namanya namun membuka keanggotaan pada masyarakat luas
- Menganggap model kopma menjadi tidak sesuai lagi dengan tuntutan perbaikan dirinya sendiri ataupun koperasi secara luas menjadi anggota koperasi mereka dan mengganti namanya bukan sebagai koperasi mahasiswa lagi.
Secara internal, ada beberapa permasalahan pokok dalam upaya pemberdayaan pemuda di berbagai sector koperasi masyarakat pada umumnya di Indonesia. Permasalahan tersebut adalah: belum disadarinya arti penting koperasi secara baik oleh pemuda. Begitu sebaliknya koperasi dan pengurus-pengurusnya belum banyak memahami arti penting pemuda dalam koperasi koperasi belum mampu menunjukkan citranya bagi ketertarikan pemuda untuk bergabung dalam koperasi. Tingkat pendidikan pemuda koperasi yang rata-rata masih rendah dan sebagian masih harus menyelesaikan sekolahnya. Koperasi belum memiliki kapasitas untuk memberikan manfaat ekonomis maupun pekerjaan bagi masa depan pemuda.
Sementara itu, permasalahan yang dihadapi oleh koperasi-koperasi fungsional pemuda seperti Kopma, kopsis dan Kopda secara internal adalah : Keanggotaan koperasi rata-rata masih bersifat otomatis dan bukan atas dasar kesadaran mereka sendiri. Tingkat partisipasi anggota di koperasi masih sangat lemah dan rata-rata kurang dari 50%. Pengelolaan sumberdaya yang ada kurang optimal dan pola manjemen kurang professional. Ketergantungan koperasi terhadap “induk semang”yang tinggi. Hubungan komunikasi dengan anggota yang lemah. Manajemen program pendidikan dan pelatihan koperasi yang kurang memadai. Jaringan kerjasama koperasi dirasakan masih sangat lemah dan belum banyak memberikan manfaat secara lagsung kepada anggota pada umumnya
Sesitifitas “elit koperasi” yang kurang terhadap lingkungan disekitarnya. Wacana “otonomi kampus” yang disikapi oleh beberapa pimpinan perguruan tinggi sebagai upaya untuk menggusur lahan bisnis Kopma dan bukan justru melihat arti penting Kopma bagi bagian penting perguruan tinggi
Kesimpulan dan rekomendasi
Peranan kaum muda di koperasi terlihat masih kecil dan belum banyak terlihat dalam pengambilan keputusan. Jarak antara koperasi dan orang muda masih terasa jauh. Koperasi belum mampu merumuskan visi untuk lebih besar memberikan peluang bagi kerlibatan kaum muda. Sementara,sebagian yang aktif di koperasi fungsional esklusif masih menghadapi permasalahan prinsip dan dirasakan kurang responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi disekitarnya.
Untuk itu, sebagai rekomendasi penting dalam rangka untuk memberdayakan pemuda dalam koperasi dibutuhkan upaya-upaya sebagai berikut: Perlu disusun strategi program yang lebih terarah dan berkelanjutan dalam proyek perubahan mindset melalui pendidikan dan pelatihan koperasi, bengkel kerja, seminar dan lokakarya, penerbitan-penerbitan perlu dilakukan perubahan-perubahan peraturan-peraturan yang membelenggu serta mengupayakan komitmen kebijakan berupa dukungan anggaran dan program yang jelas bagi pemuda di koperasi-koperasi masyarakat pada umumnya. Perlunya penguatan jaringan pemuda koperasi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dalam bentuk jaringan fasilitator, kemah pemuda, seminar dll demi terwujudnya jalinan komunikasi antar pemuda koperasi secara lintas batas dan sektoral. Model lain adalah pembentukan bangkel-bengkel kerja guna mengembangkan kreatifitas pemuda dan penciptaan lapangan kerja dan kewirausahaan yang berbasiskan koperasi. Lebih penting lagi adalah pelibatan pemuda dalam pembuatan kebijakan koperasi. Memberikan jaminan bagi keberlangsungan program pemuda di koperasi dan sekaligus bagi tujuan perkembangan koperasi dimasa datang. Perlunya perubahan pola pendekatan pemberdayaan pemuda baik di sistem kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia maupun di Koperasi yang salah pada sisi yang lain koperasi-koperasi di lingkungan generasi mudapun harus mampu merubah diri atau membuka diri bagi lngkungannya.
Purwokerto, 19 Agustus 2004
(diterjemahkan dari antologi buku "Youth Reinventing Co-operatives")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar