Ditengah masyarakat konsumen (consumer society)saat ini, kata nasionalisme adalah sesuatu yang klise. Nasionalisme mudah diucap, tapi terasa sulit dilaksanakan. Kebutuhan aksesoris yang instantif menggeser apa yang seharusnya kita banggakan. Eksistensi produk dalam negeri tergusur oleh produk dari luar, budaya luhur bangsa sendiri terabaikan, dan kemandirian tergadaikan. Kita mungkin lebih bangga apabila mengkonsumsi jeruk Sunkist daripada Brastagi, kita lebih senang music Jazz ketimbang angklung, atau kita mungkin lebih bangga bila menabung di bank asing ketimbang di koperasi sendiri. Nasionalisme berubah menjadi kata-kata pemanis setiap tujuh-belasan agustusan.
Nasionalisme menurut definisinya adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Bung Karno mengatakan nasionalisme kita itu bersifat sosio-nasionalis. Dimana nasionalisme yang kita anut dan pahami itu bersifat sosiologis dan berbeda dengan nasionalisme barat yang cenderung ‘chauvinis” dan “rasialis”.
Dalam kontek ini, maka sifat sosio-nasionalis itu sesungguhnya tidak jauh dari apa yang juga diperjuangkan oleh koperasi. Nilai-nilai koperasi yang dilandaskan pada nilai-nilai universal seperti ; menolong diri sendiri, tanggungjawab sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas serta nilai etis ; kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab sosial, serta kepedulian terhadap orang lain beririsan secara erat dengan perjuangan kaum nasionalis. Dapat dikatakan, Seorang kooperator sejati sesungguhnya juga adalah seorang sosio-nasionalis sejati. Perjuangannya bagi tegaknya keadilan dan perikemanusian bagi semua bangsa adalah menjadi tujuan luhur dari orang-orang koperasi.
Dalam praktek, spirit nasionalisme ini telah juga menjadi bagian dari jiwa para kooperator di berbagai negeri dan pendorong bagi banyak prestasi dan kemajuan peradaban. Ceritera sukses dari berbagai aktivitas koperasi yang disemangati oleh sikap sebagai nasionalis seperti misalnya sukses koperasi pekerja (worker co-op) di bidang industry rumah tangga yang ada di Bousqe, Italy. Koperasi pertanian Kibbuzt di Israel, koperasi perlistrikan di daerah pinggiran kota dan pedesaan di amerika serikat dan lain sebagainya. Sebagai praktek yang berhasil di negeri sendiri, sebetulnya kita juga bisa belajar banyak dari praktek swadaya dari Koperasi Kredit (Kopdit) yang ada di berbagai penjuru republik ini. Dimana hingga saat ini mereka telah berhasil menunjukkan kinerja kemandirian yang tidak kecil dengan kekuatan mobilisasi dana hingga 5,9 trilyun dari sejumlah kurang lebih 1 juta orang (Statistik Kopdit, 2008).
Seperti halnya nasionalisme yang dibangun dari kesadaran dan keinsyafan sebagai warga suatu bangsa, seorang kooperator juga memiliki landasan pijak yang sama. Keinsyafan diri (kesadaran) akan harkat dan martabat kemanusiaan seorang kooperator atau nasionalis harus dibangun agar tidak terinjak-injak oleh bangsa lain atau bangsanya sendiri. Sehingga proses transformasi nilai-nilai universal yang dianut seorang nasionalis dan juga kooperator menjadi mutlak adanya.
Sikap kemandirian seorang nasionalis juga merupakan perjuangan seorang kooperator dalam kehidupan sederhana keseharian. Sikap ini ditunjukkan dengan sikap kooperator yang selalu menjunjung nilai kemandirian dan menjaga otonomi dan kebebasan dari tiap-tiap anggotanya. Kemandirian ini meliputi bidang yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu ranah sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Kemandirian ini dapat kita wujudkan dalam praktek-praktek nyata kehidupan seperti ; membangun sikap anti konsumerisme, menghindari sikap hidup hedonis dan membangun perencanaan masa depan. Sementara itu dalam praktikal bisnis, koperasi memfasilitasi bagi munculnya sumber-sumber daya mandiri melalui sistem ekonomi perlindungan dana kembali (economic patrone refund)..
Nasionalisme seseorang tentu tidak akan muncul begitu saja tanpa proses transformasi yang masif. Nasionalisme mau tidak mau harus terus selalu ditransformasikan kepada generasi agar bangsa ini tidak mengalami kepunahan identitas. Nasionalisme harus diartikulasikan dan ditransformasikan pada generasi sedemikianrupa agar bangsa ini tidak menjadi kulie diantara bangsa-bangsa lain atau sekadar menjadi pengekor, epigon, atau plagiator dari masyarakat berbangsa-bangsa.
Agar generasi mampu membentuk kesadaran kebanggaan nasional pada bangsanya sendiri, bangga akan nilai-nilai dan budaya mereka sendiri, maka berbagai pranata dan sistem sosial kemasyarakatan kita harus diarahkan untuk mendukung hal ini. Terlebih perlu ditekankan adalah pada sistem pendidikan kita yang merupakan alat tranformasi yang paling efektif. Sistem pendidikan kita harus menimbulkan sikap bebas belajar, dan mampu menimbulkan penghargaan karya anak bangsa. Menjadi masyarakat yang berkembang dengan banyak belajar dari sejarah masa lalunya dan banyak mengangkat potensi riel dari bangsanya sendiri. Meminjam istilah dari WS Rendra, perjuangan itu adalah pelaksanaan kata-kata. Marilah kita memulianya dari hal yang paling sederhana dan paling mungkin kita kerjakan!. Sesuatu yang ada di dekat kita!
Purwokerto, 17 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar