Suroto, Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), mengatakan yang diperlukan oleh gerakan koperasi adalah jaminan lingkungan kondusif agar bisa tumbuh dan berkembang bagi pembangunan sosial ekonomi masyarakat.
”Bukti empirik di Norwegia dan Denmark tidak memiliki Undang-undang Koperasi. Namun, koperasinya berkembang,” ungkap Suroto dalam seminar bertema Rancangan Undang-undang (RUU) Koperasi Untuk Siapa? di Gedung KNPI, Rabu 25 Januari 2012.
Saat ini RUU Koperasi tengah dibahas bersama Kementerian Koperasi dan UKM dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. RUU itu akan menjadi pengganti UU Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 tersebut selesai dibahas pada 2011.
Namun pembahasan diperpanjang sampai tahun ini untuk menyelesaikan sisa daftar inventarisasi masalah (DIM) yang jumlah sebanyak 1.043. Meski ada desakan agar pemerintah dan DPR menyelesaikan RUU pada 2012, namun gerakan koperasi pesimistis terlaksana.
Menurut Suroto, berkaca dari eksistensi koperasi di Denmark dan Norwegia, aspek yuridis dan UU perkoperasian yang baik harus sebagai bentuk peraturan terbaik bagi koperasi. Bukan berfungsi mengatur-atur seperti halnya di Indonesia.
Di Indonesia saat pemahaman koperasinya masih lemah, karena pengembangan koperasi masih bersifat top-down, maka UU berpotensi melucuti koperasi dari jatidirinya. Pada akhirnya koperasi yang berkembang menyimpang dari koridornya.
”Untuk itu seluruh komponen koperasi harus saling bergandengan menegaskan jati dirinya dalam UU yang akan diterbitkan. Alasan utamanya adalah agar perubahan mengarah pada koridor koperasi.”
Dia menegaskan ketika mencermati RUU Koperasi saat ini, memang ada variasi kembangan, dan sisi lainnya isu melakukan pembaharuan. Namun apabila dicermati dari pasal ke pasal, masih banyak pembiasan yang cenderung keluar koridor jadi diri koperasi. (bas)
Sumber : http://www.bisnis.com/articles/regulasi-koperasi-undang-undang-bukan-jadi-kunci-perkembangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar