Jumlah koperasi kita memang banyak, di Indonesia sendiri lebih dari 186.000 unit dengan jumlah anggota hingga lebih dari 32 juta orang (Menegkop dan UKM ), sementara di Banyumas sendiri ada 539 buah dengan anggota 90.000 orang lebih(Dinas Perdagangan dan Koperasi, 2012). Menurut pengakuan pejabat koperasi sendiri, tidak lebih hanya 30 persen yang aktif dan itupun indikator aktifnya hanyalah yang menjalankan Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang merupakan kekuasaan tertinggi di koperasi. Sedangkan menurut hasil penelitian serius dari Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I) dari koperasi-koperasi yang aktif itu tak lebih dari sepersepuluhnya yang benar-benar menjalankan prinsip-prinsip koperasi yang penting sebagai dasar apakah koperasi itu layak disebut sebagai koperasi atau tidak. Dari temuan yang kami dapatkan, banyak diantara koperasi yang aktif itu juga diantaranya permodalanya tergantung dari dana pihak ketiga (perorangan dan bank), dan bahkan ada yang benar-benar berjalan sebagai rentenir yang dimiliki beberapa gelintir orang pengurusnya saja, dan kemudian bisnisnya juga baru sebatas simpan dan pinjam dan warung kelontong. Bisnisnya berjalan tapi menyimpang dari prinsip atau jatidiri koperasi.
Saya mendengar, setelah beberapa bulan lalu ada sekumpulan anak-anak muda di Purwokerto yang menginginkan agar Banyumas jadi Kota koperasi. Landasanya historisnya jelas, dikota inilah koperasi pertama lahir yang dirintis oleh Asisten Residen Purwokerto, de Wolf van Westerrode. Maunya de Wolf van Westerrode yang mati muda sebelum cita-citanya lahir adalah ingin mengembangkan Koperasi Kredit model Raiffisien yang ada di Jerman karena melihat adanya potensi kultur yang sama dengan konsep koperasi yang dia lihat di negerinya, yaitu kultur gotong-royong yang disimbulkan dalam bentuk “ sistem lumbung”. Tempat menyimpan hasil panen, dan untuk menyelamatkan ekonomi keluarga menghadapi masa paceklik.
Cita-cita mereka yang dapat respon positif dari Pemerintah Banyumas ini sangat baik, dimana para aktivis muda koperasi ini bisa bergandengan tangan dengan Pamong Praja untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. Hanya saja, yang perlu dicermati adalah bahwa orientasi kualitas itu justru lebih penting ketimbang kuantitas. Bahkan trend yang benar dari berbagai pembangunan koperasi yang sukses di negara lain itu adalah jumlah koperasinya semakin diturunkan dan jumlah anggotanya berikut tabungan atau simpanan mereka serta transaksi dengan koperasinya yang bertambah besar. Ini adalah merupakan asas kerja koperasi, dimana koperasi-koperasi yang baik itu adalah justru semakin kuat karena yang kecil-kecil merger (bergabung). Kemudian dalam asas subsidiaritasnya koperasi itu membentuk konsep federasi diatasnya yang memiliki fungsi untuk mendukung usaha-usaha dibawahnya seperti menyelenggarakan pendidikan pada anggota dan manajemen, memberikan dukungan moderenisasi sistem, promosi bersama, riset bersama, dan masih banyak lagi. Jadi jelas sudah, kalau ingin menjadikan Purwokerto jadi kota koperasi itu bukan berarti menambah jumlah koperasi, tapi lebih penting dari itu adalah meningkatkan jumlah anggota dan kualitas partisipasi mereka.
Perlu saya tambahkan disini, bahwa isu Kota Purwokerto sebagai kota koperasi itu sudah tepat bila digulirkan pada tahun 2012 ini karena bertepatan dengan keputusan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Setidaknya, inilah saatnya untuk mengoreksi kesalahan kita dalam membangun paradigma dalam membangun koperasi yang baik sehingga suatu saat kita juga bisa memasukkan koperasi kita di daftar 300 koperasi dunia yang mana tak satupun koperasi kita masuk di dalamnya dan bahkan kalah jauh dengan negara-negara tentangga seperti Singapore yang menyumbang 2 koperasi besar dan malasya 1 koperasi mereka.
Ada beberapa prasyarat utama agar koperasi kita berkembang menjadi koperasi kelas dunia. Prasyarat utamanya adalah tunduk patuh pada nilai-nilai koperasi yang dioperasionalisasi dalam prinsip-prinsipnya. Sebagaimana menjadi keberhasilan koperasi-koperasi Kelas Dunia, yang tak dapat dibantah, selain harus memenuhi besarnya perputaran bisnis dan asset, mereka semuanya tunduk patuh pada ICIS (International Co-opeative Identity Statement ) atau Jatidiri Koperasi selain penerapan Value Base Profesional Management Co-operative (VBPMC) sebagai terjemahannya dalam operasionalisasi manajemen. Dengan kata lain, koperasi-koperasi tersebut menjadikan Jatidiri Koperasi sebagai keunggulanya ditengah persaingan yang ketat dengan perusahaan swasta kapitalis.Diantara prasyarat tersebut adalah ; Keanggotaan Sukarela dan Terbuka, Pengendalian oleh Anggota Secara demokratis, Partisipasi Ekonomi Anggota, Otonomi dan Kebebasan, Pendidikan, pelatihan dan informasi, Kerjasama antar koperasi, Kepedulian terhadap komunitas (Lingkungan).
Sebagaimana kita ketahui bersama, praktika koperasi kita masih banyak yang belum menjalankan prinsip-prinsip utama sebagaimana disebutkan diatas. Sebagai misal saja adalah koperasi-koperasi basis fungsional dari profesi-profesi, seperti Koperasi-koperasi pegawai negeri, koperasi karyawan, koperasi mahasiswa, koperasi tentara dan lain sebagainya. Koperasi-koperasi ini betapapun telah memberi manfaat bagi banyak anggota-anggotanya, tapi sebagian besar masih tertutup atau eksklusif keanggotaanya. Bahkan banyak diantaranya yang keanggotaanya bersifat otomatis. Akibatnya, banyak diantara koperasi tersebut manajemenya berkembang dalam situasi yang tidak efisien, tingkat kompensasi bagi karyawanya jadi rendah dan tidak menarik lagi bagi anak-anak muda potensial untuk masuk dalam jajaran eksekutifnya, dan masih banyak lagi akibat-akibat lanjutanya.
Berangkat dari latar belakang tersebut maka, agar koperasi-koperasi kita dapat sejajar dan berkiprah di tingkat global, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh koperasi-koperasi kita dan juga termasuk regulasinya. Pertama, koperasi-koperasi yang ada saat ini harus menyadari bahwa keunggulan dari koperasi dan sekaligus kekuatan daya saing koperasi itu justru terletak pada nilai-nilai dan prinsip koperasi atau Jatidiri koperasi. Kedua, harus sudah mulai melakukan rasionalisasi bisnis, koperasi harus dikeluarkan dari image sebagai fungsi pelengkap dan sampingan ketimbang sebagai pelaku dan utama. Memposisikan koperasi sebagai usaha sampingan dan bahkan hanya dijadikan sebagai tempat untuk mengemis bantuan kepada pihak lain maupun Pemerintah itu pada akhirnya justru menjadikan image koperasi semakin terpuruk saja.
Ketiga, untuk membedah kebekuan, Pemerintah harus tegas, bagi koperasi-koperasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip koperasi harus dicabut badan hukumnya sebagaimana juga jelas diatur dalam kewenangan pemerintah menurut aturan UU No. 25 tahun 1992. Ketiga, seluruh regulasi, baik itu yang menyangkut perkoperasian secara langsung maupun tidak langsung harus dilakukan penyesuaian agar tercipta kondisi yang kondusif bagi terwjudnya koperasi-koperasi kelas dunia. Misalnya adalah aturan perpajakan, perdagangan, perindustrian, keuangan, pertanian, perikanan dan lain sebagainya. Koperasi juga harus diberikan tempat yang sejajar dalam lintas bisnis modern dan dengan tetap diberikan penghargaan terhadap jatidirinya. Semua dilakukan agar koperasi kita tidak terlibas habis ditelan oleh jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar