Suroto.net
  • Home
  • About
  • Activities
  • Notes
    • Cerpen Puisi
    • Opini Media
    • Regulasi
    • Wacana
  • News
  • Reviews
    • Books
    • Movies
  • Download

Selasa, 15 Oktober 2013

Credit Card dan Premanisme Bank

| No comment
Oleh : Suroto

Akhir-akhir ini media massa ramai membicarakan persoalan premanisme dari tukang tagih pada nasabah Credit Card dan sekaligus pembobolan bank yang dilakukan dengan aksi orang dalam. Bank untuk menekan jumlah piutang macet (non performing loan)nya, melakukan aksi premanisme dengan mengirim tukang tagih dan melakukan ancaman, penyitaan secara paksa dan bahkan kekerasan fisik maupun psikologis. Sementara keamanan uang para penabungnya terancam oleh aksi oknum orang dalam sendiri.

Sesungguhnya fenomena semacam ini bukan terjadi hari-hari ini saja, dan juga tidak hanya menimpa beberapa orang pemilik credit card kelas menegah, tapi kalau kita mau jujur, sesungguhnya kekerasan semacam itu setiap hari menindas masyarakat kecil yang menjadi korban rentenir. Mereka yang membebankan biaya bunga dari 10 hingga 30 % per bulan yang dalam istilah jawa disebut bank ucek-ucek, bank plecit (mengejar-ngejar). Orang-orang kecil yang terlilit dari himpitan hidup yang sudah sulit. Tapi seperti biasanya, masalah yang muncul dipermukaan di republik ini adalah merupakan fenomena gunung es yang sudah lama membeku lama di masyarakat. Seperti biasa juga, kita menjadi sangat reaktif dalam membuat solusi dan lupa akar masalahnya. Kemudian seluruh pihak ikut dalam hiruk pikuk ini.

Sebetulnya kalau kita sadari apa akar masalahnya maka kita bisa lakukan pencegahan dini dan hindari penyakit menghutang atau dalam bahasa populisnya kredit yang pada akhirnya mencekik kita sendiri. Seperti kita tahu, setiap bank di republik ini seperti menjadi jembatan bagi masyarakat kita yang sedang diserbu keinginannya karena sikap konsumerisme yang telah merasuk dalam relung hidup sehari-hari. Kita tahu, bank menyajikan laporan lengkap tentang performanya dengan mempertahankan kinerja menyalurkan kredit konsumtif, bukan produktif. Di mall-mall, di kantor-kantor dan dimana saja, mayarakat kelas menengah selalu dibujuk rayu agar mereka menggandakan kartu kreditnya. Kemudian setiap orang merasa senang dengan kepemilikan credit card yang banyak. Sebuah status yang mentereng dengan berpamer credit card, dan lupa dengan dengan kapasitasnya mengangsur. Gali lubang tutup lubangpun menjangkiti masyarakat dalam berbagai level.

Budaya hutang baik dalam level privat maupun negara telah mengeras dan membentuk sistem ekonomi berbasis hutang. Hutang swasta dan hutang pemerintah seperti telah menjadi tradisi turun temurun yang harus dilanggengkan oleh setiap rezim yang berkuasa. Padahal kita tahu, sebuah negara akan memiliki angka kemajuan ekonomi kalau mereka mampu berdisiplin diri menyusun dana pembangunan mereka sendiri dalam konsep ekonomi dan pembangunan yang self-reliance. Dimana konsekwensinya adalah setiap warga negara diharapkan mampu berhemat untuk kemudian membentuk tabungan yang setara dengan tingkat kemampuan ekonomi mereka. Menghindari setiap pemborosan dan mengontrol keinginan agar tidak menjadi pasung hidup dan keruntuhan masa depan yang tak terencana.

Persoalannya sekarang adalah masalah kepemilikkan bank tersebut. Bank milik orang perorangan (pemilik modal kapital besar) sudah barang tentu berpotensi untuk menciptakan terjadinya kejahatan. Mereka bekerja seperti yang diinginkan pemiliknya. Mengumpulkan uang kecil dari masyarakat dengan iming-iming yang bombastis. Hingga faktanya jumlah nasabah penabung bank sampai dengan 99 persen adalah mereka yang menyimpan uang dibawah angka 200 juta rupiah. Penyaluranya juga bisa saja semau mereka, ke korporat anak perusahaan mereka dan atau ke para kelas menengah dengan jebakan credit card. Bank pada akhirnya tidak berfungsi menjadi lembaga intermediasi dari yang kelebihan pada yang kekurangan dana, tapi mereka berfungsi menjadi pendorong konsumerisme dan irasionalitas masyarakat. Mengikuti nafsu pengejaran profit pemilik bank untuk menciptakan segelintir payung pengaman untuk elit bankir.

Ditambah lagi, mereka yang menjadi pemilik modal kapital besar tersebut berusaha mengeruk untung sebesar-besarnya dengan cara mendapatkan sumber modal semurah-murahnya. Menjadi rahasia umum permainan mafia kartel dalam penentuan bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang kita tahu selalu bernilai lebih tinggi dan berikan margin keuntungan yang bagi si pemilik bank dan sudah barang tentu tak dapat memberikan insentif bagi bunga kredit yang lebih rendah untuk usaha-usaha produktif. Disamping plafon dan skim bank yang memang tak memungkinkan untuk membiaya usaha-usaha produktif masyarakat kecil yang banyak menampung tenaga kerja. Ekonomi menjadi idle, pengangguran menumpuk dan pada akhirnya kemiskinan menimpa kita, seluruh masyarakat Indonesia.[]

Jakarta, Mei 2010
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: Wacana
Tags : Wacana
Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)
Error 404 - Not Found
Sorry, but you are looking for something that isn't here.

Fan Page

Snapshoot

Suroto nama saya. Dari nama saja orang pasti bisa tebak saya orang Jawa. Klaten, tepatnya. Nama saya hanya tersusun satu kata. Saban kali cek imigrasi, selalu saja bermasalah. Saya lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman atawa Unsoed. Itu terletak di Kota Purwokerto. Kota pertama koperasi lahir di Indonesia. Boleh jadi tuah kota inilah yang membuat saya sampai sekarang concern di gerakan koperasi.

Ruang aktivitas saya di Jakarta, Indonesia. Teman-teman mempercayakan saya untuk memimpin beberapa organisasi. Ada Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) Indonesia. Lalu Induk Koperasi Konsumsi Indonesia (IKKI) dan terakhir saya dipilih sebagai Ketua Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi. Sebelum di Jakarta dulu saya mengembangkan koperasi di Purwokerto, Kopkun, namanya.

Orang bilang kalau ngomong saya ndakik-ndakik. Padahal saya juga menyenangi novel dan beberapa kali menulis cerpen dan puisi. Tentu yang paling kentara dari hobi saya, ya, diskusi. Seminggu tidak diskusi bisa pusing rasanya. Hehe..

Lagi-lagi orang bilang saya utopis. Saya mencita-citakan demokrasi tak hanya di ruang politik, tapi ekonomi juga. Tentu yang saya maksud adalah Demokrasi Ekonomi. Agar orang banyak bisa memiliki penghidupan dan kekayaan dengan cara yang bermartabat. Eksploitasi satu terhadap manusia yang lain adalah kejahatan. Itulah keyakinan yang saya perjuangkan lewat koperasi.

Follow me!

Tweets by @surotobravo

Popular Posts

  • LSP2I in Media
  • GROUP TUKANG BECAK “PERJAKA” Semangat Kecil Bebas Dari Rentenir
  • Ekonomi Berbagi dan Kamuflase Ekonomi Kapitalis
  • Strategi Baru Pengembangan Koperasi Konsumen Di Indonesia
  • Mewujudkan Koperasi yang Ideal Menuju Demokrasi Ekonomi Kerakyatan

Labels

  • Cerpen Puisi
  • Opini Media
  • Regulasi
  • Video
  • Wacana

Follow by Email

Suroto.net

Suroto.net merupakan personal
blog yang menghimpun pemikiran-pemikiran progresif perkoperasian, demokrasi ekonomi dan isu-isu sosial ekonomi strategis lainnya. Suroto.net adalah jejak dari beragam gagasan dan praktik yang dibangun Suroto sebagai Aktivis Gerakan Koperasi di tanah air.

Blog ini dikelola oleh Tim Media Suroto.net. Terimakasih.

SUBSCRIBE

Subscribe Here

Sign up and we will deliver to you!

CONTACT US

Anda bisa berkomunikasi dan korespondensi langsung dengan Suroto.

+62-81548823229

suroto.ideas@gmail.com

http://kosakti.id

Gedung Inkopdit Lantai 1, Jl. Gunung Sahari III No. 11 B, Jakarta Pusat, Indonesia

CONTACT FORM

Nama

Email *

Pesan *

© 2016 Suroto.net | Developed by: LingkarMaya