Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengusulkan kepada Parlemen dalam rapat penyusunan APBN Perubahan 2015 agar BUMN diberikan suntikan dana sebesar Rp 48 trilyun sebagai bentuk Penyertaan Modal Negara (PMD). Terbersit pemikiran oleh saya, alangkah lebih besar dampaknya andaikan dana yang sangat besar itu dijadikan dana Penyertaan Modal untuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Kondisi BUMN Kita BUMN kita saat ini ada 119 perusahaan, dan pada laporan konsolidasi tahun tutup buku 2014 bukukan asset sebesar Rp. 4.467 trilyun. Sementara laba bersihnya sebesar Rp. 154,1 trilyun. Sementara jatah deviden untuk pemerintah pada tahun lalu dipatok sebesar Rp. 40 trilyun. Dari total asset sebesar itu sebetulnya bilamana dilihat dari sisi pasivanya maka struktur modalnya Rp 3.244 trilyun adalah merupakan hutang (liabilities). Jadi modal ekuitas BUMN secara keseluruhan hanya Rp 1.223 trilyun. Ini artinya bahwa BUMN kita sebetulnya telah terjebak utang para kreditor.
Sementara di lantai bursa, saham BUMN yang telah go public posisi sahamnya sudah terdelusi hingga kurang lebih kepemilikan pemerintah tinggal rata-rata 10 persen. Jadi secara logika sederhana, BUMN kita itu secara de jure memang sahamnya masih dikendalikan oleh pemerintah. Namun secara de facto sudah dikendalikan sepenuhnya oleh para kreditur dan segelintir pemilik modal besar. BUMN ini sudah berubah jadi sapi perahan kreditur dan pemilik modal besar. Mengacu pada Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2003, BUMN kita tujuan utamanya adalah untuk mengejar keuntungan. Setiap barang atau jasa layanan BUMN logikanya boleh dikomodifikasi dan dikomersialisasikan demi satu tujuan, mengejar keuntungan. Jadi tarif listrik, kereta api, bahan bakar minyak (BBM), gas dan lain sebagainya yang merupakan layanan BUMN adalah merupakan obyek bagi pengejaran keuntungan, bukan lagi sebagai barang publik yang harus dihindarkan dari komodifikasi dan komersialisasi.
Andaikan Dana 48 Trilyun Untuk BUMDes Sementara itu, sejak disyahkanya UU Tentang Desa tahun lalu, maka setiap desa sebetulnya secara syah dapat mendirikan Badan Usaha Desa (BUMDES) yang dimiliki oleh seluruh warga desa. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa sumber modal dari BUMDes juga bisa berasal dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal. Andaikan dana 48 trilyun rencana Penyertaan Modal Negara tersebut dibagi pada setiap desa si seluruh Indonesia, maka setiap desa akan mendapatkan dana rata-rata sebesar 500 juta.
Apabila dana tersebut digunakan untuk membangun toko milik BUMDes yang menjual kebutuhan warga di setiap desa, maka akan berdiri 73.000 toko. Andaikan setiap toko ini memperkerjakan 5 orang, maka aka nada anak muda yang terekrut 365.000 sebagai pekerja. Selain itu, industri rumah tangga yang bergerak di sektor pangan kemudian dapat hidup dan ikut menjual barangnya di toko tersebut. Kehidupan rumah tangga di desa-desa kemudian akan terbantu. Wirausahawan pemula akan lahir dengan keberadaan BUMDes tersebut. Belum lagi manfaat strategis lainya apabila BUMDes ini dapat beroperasi untuk menyalurkan saprotan (sarana produksi pertanian) di tiap–tiap desa. Pemerintah tidak perlu lagi bingung salurkan pupuk bersubsidi yang selama ini selalu bermasalah. Melalui BUMDes, sebagai jalur distribusinya kepemilikan dan pengawasanya akan dilakukan oleh warga desa sendiri.
Untuk itu secara kelembagaan akan strategis untuk salurkan barang-barang publik dan mediasi bagi bantuan-bantuan sosial . Apabila Penyertaan Modal sebesar Rp 48 trilyun itu diberikan pada BUMDes maka tahun depan pemerintah tidak perlu lagi susah payah untuk berikan dana stimulasi tambahan. Sebab toko BUMDes keuntunganya dapat dicadangkan untuk pengembangan. Demikian jaringan toko BUMDes akan berkembang menjadi jaringan ritel terluas di dunia dan tahun depannya lagi bisa berekspansi mendirikan pabrikan. Ini akan turut mengakselerasi dalam mempersiapkan masyarakat kita menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah di depan mata. Para pengusaha-pengusaha pemula yang terstimulasi secara ekonomi dengan keberadaan BUMDes tersebut pada saatnya bisa jadi inovator bisnis canggih yang tidak akan pernah kita duga. Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, inovasi itu muncul lebih banyak dari berbagai kegiatan usaha kecil pada mulanya.
Fokus Perbaiki BUMN Bangun BUMDes BUMN kita sebetulnya tidak akan mati karena tidak mendapatkan dana segar melalui skema modal penyertaan. Cukup jadikan saja dana deviden jatah untuk Pemerintah sebagai deviden ditahan dalam kembangkan bisnis BUMN. Ini juga untuk hidari moral hazard yang akan muncul karena kemungkinan besar hanya akan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang mengetahui seluk beluk BUMN kita. BUMN kita baiknya dilakukan konsolidasi manajemen saja untuk memperkuatnya. Lakukan upaya merger yang belum selesai. Konsentrasikan bisnis BUMN untuk tangani industri besar basis komoditas yang saat ini terpuruk. Sementara itu, jadikanlah BUMDes sebagai bagian dari gerakan ekonomi rakyat yang masif. Melalui BUMDes ini jadikan sebagai basis ketahanan ekonomi rakyat. Jadikan BUMDes sebagai kekuatan ekonomi domestik yang strategis untuk tangani masalah kebutuhan pangan dan energy alternatif kedepannya.
Di tengah tingkat kesenjangan sosial ekonomi yang berkecenderungan semakin tinggi setiap tahunnya, membangun mega proyek kerakyatan melalui BUMDes akan bernilai lebih strategis ketimbang berikan stimulasi modal pada BUMN untuk bangun proyek besar yang ditangani oleh para pebisnis besar. BUMDes ini bisa kurangi angka rasio kesenjangan ekonomi sebagaimana juga menjadi target pembangunan pemerintahan saat ini. Manfaatnya tidak hanya dalam jangka pendek, dalam jangka panjang, kepemilikkan bisnis BUMDes oleh masyarakat itu akan dapat membentuk satu kebersamaan dan rasa persatuan yang merupakan modal penting bagi pembangunan masyarakat kita kedepan.
Jakarta, 23 Januari 2015 Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPeK), Alumni Unsoed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar